Rukun Nikah
Rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengan demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya berupa ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung akan menyebabkan timbulnya sisa rukun yang lain.
o Ijab: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
o Qabul: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/ setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.
Dari shighah ijab dan qabul, kemudian timbul sisa rukun lainnya, yaitu:
o Adanya kedua mempelai (calon suami dan calon istri)
o Wali
o Saksi
Shighah akad bisa diwakilkan oleh dua orang yang telah disepakati oleh syariat, yaitu:
o Kedua belah pihak adalah asli: suami dan istri
o Kedua belah pihak adalah wali: wali suami dan wali istri
o Kedua belah pihak adalah wakil: wakil suami dan wakil istri
o Salah satu pihak asli dan pihak lain wali
o Salah satu pihak asli dan pihak lain wakil
o Salah satu pihak wali dan pihak lain wakil
Syarat-syarat Nikah
Akad pernikahan memiliki syarat-syarat syar’i, yaitu
terdiri dari 4 syarat:
o Syarat-syarat akad
o Syarat-syarat sah nikah
o Syarat-syarat pelaksana akad (penghulu)
o Syarat-syarat luzum (keharusan)
1. Syarat-syarat Akad
a). Syarat-syarat shighah: lafal bermakna ganda, majelis ijab qabul harus bersatu, kesepakatan kabul dengan ijab, menggunakan ucapan ringkas tanpa menggantukan ijab dengan lafal yang menunjukkan masa depan.
b). Syarat-syarat kedua orang yang berakad:
± keduanya berakal dan mumayyiz
± keduanya mendengar ijab dan kabul , serta memahami maksud dari ijab dan qabul adalah untuk membangun mahligai pernikahan, karena intinya kerelaan kedua belah pihak.
c). Syarat-syarat kedua mempelai:
o suami disyaratkan seorang muslim
- istri disyaratkan bukan wanita yang haram untuk dinikahi, seperti; ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari bapak dan dari ibunya.
o disyaratkan menikahi wanita yang telah dipastikan kewanitaannya, bukan waria.
2. Syarat-syarat Sah Nikah
a). Calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suami
b). Kesaksian atas pernikahan
³ keharusan adanya saksi
³ waktu kesaksian, yaitu kesaksian arus ada saat pembuatan akad
³ Hikmah adanya kesaksian
Pernikahan mengandung arti penting dalam islam, karena dapat memberi kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian ia harus diumumkan dan tidak disembunyikan. Dan cara untuk mengumumkannya adalah dengan menyaksikannya.
³ Syarat-syarat saksi
¥ berakal, baligh, dan merdeka
¥ para saksi mendengar dan memahami ucapan kedua orang yang berakad
¥ jumlah saksi, yatu dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Q. S. Al-Baqoroh : 282
¥ Islam
¥ adil
c). Lafal (Shighah) akad perkawinan bersifat kekal
Demi keabsahan akad nikah, shighah disyaratkan untuk selamanya (kekal) dan tidak bertempo (nikah mut’ah).
3. Syarat-syarat Pelaksana Akad (Penghulu)
Maksudnya ialah orang yang menjadi pemimpin dalam akad adalah orang yang berhak melakukannya.
a). Setiap suami istri berakal, baligh, dan merdeka
b). Setiap orang yang berakad harus memiliki sifat syar’I : asli, wakil, atau wali dari salah satu kedua mempelai.
4. Syarat-syarat Luzum (Keharusan)
a). Orang yang mengawinkan orang yang tidak memiliki kemampuan adalah orang yang dikenal dapat memilihkan pasangan yang baik, seperti keluarga atau kerabat dekat.
b). Sang suami harus setara dengan istri
c). Mas kawin harus sebesar mas kawin yang sepatutnya atau semampunya.
d). Tidak ada penipuan mengenai kemampuan sang suami.
e).Calon suami harus bebas dari sifat-sifat buruk yang menyebabkan diperbolehkannya tuntutan perpisahan (perceraian).
Pertanyaan-pertanyaan:
1. Bayu
S: Kenapa wali dalam perkawinan harus laki-laki dan bukan perempuan?
J: “ janganlah perempuan menikahkan perempuan-perempuan lain, dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.”
(H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni)
2. Zainal
S: a). Apa yang dimaksud ‘telah dipastikan / disahkan kewanitaannya’?
b). Apa yang dimaksud ‘mas kawin sepatutnya’?
J: a). Maksudnya ialah orang yang akan dijadikan istri adalah benar-benar seorang wanita, bukan waria. Cara mengetahui bahwa ia seorang wanita atau waria, yaitu dalam proses ta’aruf atau masa perkenalan, kita bisa melihat dari sikapnya, pergaulannya (dngan siapa ia bergaul), dari keluarganya, serta dari tetangga atau kerabat dekatnya.
b). Sepatutnya disini mas kawin/ mahar yang diberikan dengan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak. Definisi ‘sepatutnya’ biasanya lebih condong ke permpuan, laki-laki menyesuaikan dengan keadaan perempuan.
Sedangkan ‘semampunya’ lebih condong ke laki-laki dalam menentukan mahar, tidak memberatkan pihak laki-laki karena sesuai kemampuan laki-laki.
3. Khadijah
S: Dalam ijab qabul tidak disbutkan yang menikah itu sesame manusia, bagaimana kalau salah satu pihaknya jin atau syaithan?
J: Kembali lagi ke tujuan menikah, kalau memang tidak tercapai maka tidak bisa. Menikah adalah ibadah dan kalau ibadah itu sbaiknya dicari yang di perintahkan, bukan dicari yang dilanggar. Karena sudah menjadi fitrah manusia untuk menyukai sesama manusia, bukan terhadap hal yang ghaib dan menentang syara’. Allah swt. telah mnciptakan manusia berpasang-pasangan, yaitu manusia dengan manusia yang brlainan jenisnya (laki-laki dan perempuan).
4. Ibu Sari
S: a). Kenapa rukunnya hanya ijab dan qabul?
b). Bagaimana kalau menikah tetapi wali (ayah kandung) tidak diketahui keberadaannya?
J: a). Kami meringkas menjadi ijab qabul saja, karena dalam ijab qabul itu sendiri rukun lainnya sudah pasti termasuk dalam ijab qabul itu. Rukun lengkapnya yaitu: shighat (Ijab dan Qabul), kedua mempelai (calon suami dan calon istri), wali, dan saksi.
b). Berusaha mencari ayah kandungnya dulu, karena yang diberi hak menikahkan anaknya terutama yang perawan adalah ayah kandung. Ayah mmiliki keistimewaan dari wali yang lain. Jika memang tidak ditemukan maka walinya adalah wali jauh, ika tidak ada wali jauh maka wali hakim.
5. Maulana
S: a). Bagaimana menikah dengan orang yang berbeda agama?
b). Bagaimana hukumnya menikah dibawah tangan (nikah sirri)?
J: a). Tidak halal perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki musyrik dan sebaliknya dan uga ahli kitab. Lihat Q.S. Al-mumtahanah: 10 dan Q.S. Al-Baqarah: 22.
b). Menikah dibawah tangan sah hukumnya menurut agama, tetapi tidak tercatat di KUA. Hendaknya dalam pernikahan dipakai konsep halalan toyyiban. Menikah jenis ini memang baik dan sah menurut rukun dan syaratnya, tapi konsekuensi dari pernikahan ini agak lebih berisiko. Selain itu, tujuan adanya pencatatan di KUA agar kedua belah pihak bisa mempunyai hak yang sama di mata hokum dan tidak ada yang dirugikan. Selama tujuan dari pemerintah dalam mengadakan pencatatan sipil adalah baik, maka kita harus mematuhinya.
6. Indah
S: Lebih baik mana ijab qabul secara terpisah atau digabung antara kedua calon mempelai?
J: Baiknya secara terpisah agar tidak terjadi kontak fisik sebelum menjadi muhrim. Akan tetapi, dilihat kondisinya, jika dalam kesehariannya calon mempelai biasa dengan khalwat ataupun tidak memakai syari’at Islam dalam membina hubungan sebelum menikah, maka penggunaan hijab tidak akan ada manfaatnya.
7. Nur Mawadah
S: Bagaimana jika walimatu ‘ursy dipisah antara ikhwan dengan akhwat?
J: Tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Jika keduanya sepakat untuk dipisah atau digabung, pastinya mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Selain itu, lihatlah kondisi adat (kebiasaan) dan budaya yang biasa dipakai, karena masing-masing daerah maupun negara mempunyai adat dan budaya yang berbeda dalam hal ini.